PILAR
BAHAGIA
Haruskah
seperti ini selamanya, permasalahan yang tidak pernah berujung untuk diakhiri.
Malam
ini semakin larut, lelakiku tak jua datang menemuiku, kalau aku yang mengalah
datang menemuinya sama artinya aku sudah menunjukkan sebuah kekalahan
dihadapannya dan lelakiku semakin angkuh menunjukkan kepadaku bahwa dia seorang
lelaki yang selalu benar dan keangkuhannya akan semakin menjadi untuk ditununjukkan
kepadaku. Aku tidak mau itu.
Malam kedua ini aku dan lelakiku masih bertahan. Dia tetap tidak mau menemuiku,
padahal aku tahu dia sangat membutuhkan
aku. Diamnya dia membawaku juga bersikap angkuh kepadanya. Aku tahu ini masalah kecil yang bisa jadi
besar. Karena aku juga measa benar.
Pagi
ini aku ingin berdamai denganmu, berkatalah “ya,” kepadaku pintaku dalam hati, sebagai
satu kata jawaban aku pamit mau berangkat kerja. Ku cium tangannya dan aku
merasakan senyum yang dipaksakan,
tatapan dingin mata dan raut wajah belum bisa membohongiku belum ada
niatan dalam diri lelakikau untuk berdamai.
“Aku datang” sapaku saat pintu rumah kubuka, tidak ada jawaban yang aku
dengar, aku tahu lelakiku sudah datang sepeda motornya sudah terparkir di depan
pintu, “kemana lelakiku?” pikirku
mengapa masih belum mau menjawabku.
Malam
ini malam ketiga aku dan kamu masih
bertahan untuk tidak saling bicara. Aku mulai mengalah lagi “maukah kamu makan
bersamaku? ayoolah… kita makan bersama,”
“Nanti,”
jawabnya. Dia tak juga datang
menenmaniku di meja makan.
Aku masih belum berani untuk beranjak
dari meja makan, kalau aku tinggalkan meja makan ini kemarahanmu tidak akan
berakhir. Sampai kapan kebisuan ini akan berakhir tidak mengerti.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, kamu tak juga mau datang, sebenarnya
aku juga sudah jenuh dengan semua ini, aku tinggalkan meja makan menuju kamar
tidur. Rasanya ingin berteriak,”apa maumu? pergilah jika kamu ingin pergi,
pergilah kamu jauh dariku,” kepeluk bantalku, aku usap air mataku, aku tidak
ingin dia melihatku menangis, dimana harga diri ini mau ditaruh, emosiku mulai meninggi.
“Gubrak,” aku mendengar pintu masuk rumah
ditutup dengan keras, sangat menakutkan dan menyakitkan yang aku rasakan, bunyi
pintu ini semakin menyesakkan dadaku, apa sebenarnya yang diinginkan.
Antara
ingin ditemui dan ditinggalkan menyatu dalam dinginnya malam berharap dia akan
datang walau sebenarnya sangat ketakutan
buat aku. Hanya hela nafas panjang yang bisa aku lakukan ketika kudengar suara
seret kakinya melangkah menuju kamar belakang.
Syukurlah
dia menuju kamar. Kata – kata tidak terasa terucap oleh bibirku.Keinginanku
hanya satu dia tidur dan malam ini tidak ada lagi kemarahan lagi.
“mengapa kau tak datang ke kamarku?” tanyaku
dalam hati.
akan
mengatakannya setiap kali
Tanpa
kau tengok ke belakang, runcingnya ujung kusut ini telah menjadi kipas yang
melenakan penghuninya untuk berdiam dalam kedinginan tanpa kehangatan yang
beradu.
Sesekali
aku akan mengalah, berharap kehangatan dalam kekalahan itu menjadi kebahagiaan
yang sempurna. Semua itu semu belaka tidak ada artinya untukmu, kala hati
merasakan terkoyak, terbanting dalam penghianatan kasih, rasanya tidak akan
terbangun kembali untuk diselesaikan.
Sakit…
Kala
hati hanya bisa meratap tanpa ada keberanian yang bijak untuk melangkah.
Keputusan
sepihak untuk kebahagiaan diri dianggap sebagai solusi terbaik.
Tak
perlu sanjungan orang lain, yang kemarin mencibirkan bibirnya buat kita.
Cukuplah kita berdua bisa berada dalam hidup yang sempurna seperti pilar yang
sudah dibangun di awal.
Malam
ini aku mengalah lagi. Entah apa yang membawamu menjadikanku bak putri raja.
Inikah yang dikatakan bahagia. Inikah yang dikatakan kesempurnaan kasih karena
saling mengisi. Maaf aku belum bisa mempercayaimu, ada pamrih yang aku rasakan disini.
Aku ingin menjadi putrimu disetiap
waktu. Aku tidak minta sesaat, selamanya dan permanen, tidak salahkan pintaku?
jangan biarkan kekalahan ini menjadi kekuatan yang mengakar untuk bertekad
pergi. Cepatlah perbaiki diri, berdirkan kembali sebagai pintu masuk kebahagiaan,
karena kau milikku.
Menjelang
malam, hal yang paling aku takutkan berada di dekatmu. Malam sebuah peristiwa yang dimana tubuh
mulai meminta untuk dipahami yang berakhir dengan diam dalam kekakuan diri di
dalam kamar, menunggumu bisa mengerti diriku yang telah lelah berada diluar
mulai pagi. Apa yang ada dibenakmu sebenarnya, adakah aku disana, yang utuh
tanpa ada ruang – ruang lain yang kau hadirkan sehingga kau melupakanku. Sehingga kau tak membutuhkan aku agar bisa
menemanimu. Aku sudah mengetuk hatimu namun tak kunjung hadir ruang utuh
itu buatku.
Sayang,
jika kau dari awal menghadirkanku dalam pikiranmu tak akan begini jalan tengah
ini. Sayang, aku belum bisa mengatakan ini adalah akhir
dari cerita kita, aku butuh kehadiranmu
bukan dengan caramu. Aku tahu mata dan
hatimu mengerti apa yang aku mau, jangan
hidup dalam kepura-puraan, dengan perasaan yang menggiringku ke dalam sebuah
kesalahan dan di atas kebenaran cibiran
orang yang tak paham siapa aku dan siapa
kamu berada dalam tempurung cinta.
Bukalah
hatimu, sayangi aku bukan dengan caramu.
Duduklah berdua agar setiap masalah
bisa terselesaikan bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar